skip to main |
skip to sidebar
8:13 PM
Ibuku adalah seorang pembuat kue.
Sejak aku kecil, ibu memberiku sarapan
sebuah puisi, yang ditulis oleh para penyair.
Aku selalu membacanya dan selalu menjadi heran:
Kenapa wanita itu suka menukarkan roti dengan puisi.
Ayahku seorang nelayan.
Ikan hasil tangkapannya lumayan, cukup
untuk ditukarkan dengan kebutuhan pokok,
untuk ditukar dengan bunga-bunga penghias kebun,
untuk ditukar dengan karcis menonton konser musik, atau
untuk ditukar dengan aneka keahlian yang tidak dimilikinya
misalnya: keahlian tukang kayu membuat bangku taman.
Sekarang aku sudah dewasa,
Hanya Tuhan yang tahu sejak kapan aku jadi suka menulis puisi.
Dengan cara itu pula, aku hidup dengan gembira di negriku.
Ya, dengan puisi. Aku menukarkannya dengan barang-barang
yang kubutuhkan untuk hidup secara sederhana.
Sebab, di negriku, uang sudah tidak laku,
dan masih banyak orang yang seperti ibuku
orang-orang yang masih merasa memerlukan puisi.
Tadi pagi, seseorang datang kepadaku
hendak menukar puisi dengan beberapa tetes air mata.
Telah kuserahkan sebuah puisiku yang paling indah
dan bunga bugenfil yang kutanam di pot gerabah
telah kuberikan pula sebagai bonusnya.
0 comments:
Post a Comment